MASALAH-MASALAH SOSIAL
DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK 1
Oleh : Yoseph Yapi Taum2
1. Pengantar
Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang
dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara
sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan
ada yang kecil (lihat Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda,
Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara
yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur,
obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau
agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu
Cu juga mulai kembali berpengaruh di Indonesia.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni.
Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.
Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan
tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad
ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan
terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa
telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel
Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya
perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk
perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini
dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok
dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa
kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan
bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan
multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari
ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di
Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok,
Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk
kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.
1 Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan
dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006.
2 Yoseph Yapi Taum, Dosen F. Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mewakili tokoh masyarakat
adat/etnis.
2
Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya
dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan
keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan?
Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah
pada perbenturan peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang
mudah memunculkan konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas
masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretensi
untuk membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan
sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa
demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di
Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari
kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar
Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak
kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan
membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya
daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk
menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang
otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras)
merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau
didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka
Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan
penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu.
Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai Era
Reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan
perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution).
Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde
baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit
sebagai sebuah kekuatan basis.
Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta
menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah
pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat
daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh
yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan
demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah
tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain
adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku.
Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul.
Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi
perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap
pembangunan manusia?
3
3. Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
3.1 Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh
para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan,
sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan
bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh
karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat
umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.
Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya,
identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi
tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat
perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda
antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan
sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan
keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan
atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah,
dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:
3) yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat
destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial
yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar
merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari
kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek
bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45).
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali
dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit
dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu
melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaianpenyesuaian
dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang
dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak
segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang
mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi
emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga
menjadi sumber malapetaka.
Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat
menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa
kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh
jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertaspun. Mereka
melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung
halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang
sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong
untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan
bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri.
Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik
merupakan suatu hal yang pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan
4
sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam
berbagai bentuk aktivitas hidup manusia.
Indonesia telah memulai program desentralisasi yang cukup radikal yang telah
menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit, khususnya tentang hubungan
keuangan antara pusat dan daerah, dan juga kemungkinan melebarnya jurang
ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih kaya maju sangat pesat, meninggalkan
kabupaten-kabupaten lainnya.
3.2 Ketidakadilan Sosial
Di negara yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi
bahaya dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam
akan muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika
pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan
pemunculan kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya
berbagai konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya
kepercayaan kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan
masa depan reformasi ekonomi Indonesia.
Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi lapisan subur bagi tumbuhnya
konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan dari luar sengaja memanaskan suhu.
Namun, ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi
seringkan digunakan sebagai legitimasi pembenar.
Mereka kini menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang
politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau
pekerjaan. Ketika masyarakat menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya,
mereka tidak sekedar menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi
mereka juga menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka
belum terpenuhi.
4. Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di
dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan.
Tekanan berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena
ekspresi dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
4.1 Membangun Hubungan Kekuatan
Dalam masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik
dapat berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu
kelompok etnis sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan
menimbulkan ledakan sosial.
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial,
yaitu suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan
kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan
mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya
pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat
dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia.
5
Proses sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila
memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling
berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara
totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen
organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antaretnik,
dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah
(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.
Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan
hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa:
perdagangan, kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).
Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban
(Cohen, 1970: 65)
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan
meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban
itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan
diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti
‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa
dalam distribusi mobil dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
4.2 Membangun Budaya Toleransi
Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal
dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi
menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam
paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan
yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung
dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat
negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan
bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa.
6
Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis
ideologi Pancasila juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan
bermacam-macam pola pun dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun
negatif. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas
menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan
tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat
budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of
national unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar
karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan
bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar
toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati
setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira
ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar
empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi,
yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan.
Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif.
Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru
saja menerbitkan sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut
Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat
sisi positif, optimistik, integratif dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup,
sesungguhnya telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini.
"Semakin sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat
primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin sering
kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan demikian,
kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian pernyataan Jero
Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2).
Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar
kelompok komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah
membudaya. Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat
semacam ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks.
Untuk itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai
sebuah contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara
ini.
4.3 Pendidikan
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan
adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat
dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan
reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan
(keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI).
Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan
(Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilainilai
masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau
ajang klaim-klaim yang saling bertentangan.
7
Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa
mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia.
Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan
antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan
bentuk hubungan tertentu.
Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina
siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan
sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik
dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat
dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi
pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran
multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang
mulia.
Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah.
Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya
dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa).
Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung
mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas.
5. Penutup
Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan,
wilayah-wilayah yang secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama
Indonesia pun diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon
dari Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa
sebenarnya konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara
moral?
Indonesia masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang
isu-isu berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa.
Rumusan yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah
Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan gelombang
globalisasi.
Daftar Acuan
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and
The Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor).
Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order.
New York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.”
Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Saya Yoseph Yapi Taum.... cuma pengen tau, mengapa Farissa tertarik dan mem-postingkan kembali makalah ini? Kritik: editannya kurang rapi ya??? Tapi saya mengapresiasi upayamu. Salam dan sukses.
BalasHapus