INDONESIAKU
Mengembalikan Jati Diri Bangsa Tetap Berlanjut
Sekalipun kontes seo Mengembalikan Jati Diri Bangsa selesai sudah semestinya
Mengembalikan Jati Diri Bangsa Tetap Berlanjut. Bagaimanapun baik ada kontes maupun tidak sudah semestinya bangsa Indonesia tidak menghentikan usahanya dalam Mengembalikan Jati Diri Bangsa. Kitalah yang harus berjuang mengembalikan jati diri bangsa. Jadi tidak usah mengharap orang-orang luar negeri membangun jati diri bangsa Indonesia. Kita harus sadar banyak Ironisme Kondisi Jati Diri Bangsa Indonesia, dimana semua itu membutuhkan solusi yang tepat untuk memperbaikinya.
Oh iya, hari ini adalah satu hari menjelang berakhirnya kontes seo mengembalikan jati diri bangsa lho ... so mari kita pantau terus peringkat dalam serpnya. Dan tak lupa beri dukungan saya untuk menggoalkan artikel saya menjadi juara pertama. Bagaimanapun dukungan rekan-rekan sangat saya nantikan.
Ya sudahlah saya akan tetap berlanjut mengoptimasi artikel mengembalikan jati diri bangsa saya hingga besok pngumuman siapa pemenangya. Tak lupa doakan agar saya bisa menang menjadi juara pertama. Dan juga semoga akan ada banyak Solusi Mengembalikan Jati Diri Bangsa Indonesia sehingga Indonesia bisa menjadi negara yang adil, makmur sentausa. Dengan demikian bangsa lain tidak menganggap remeh bangsa Indonesia. Tetap berlanjut merdeka Indonesiaku, tetap berlanjut mengembalikan jati diri bangsa Indonesia.
Selasa, 22 Desember 2009
Selasa, 08 Desember 2009
Gempa bumi di Padang dan sekitarnya
October 1, 2009 farisah sabrina awanis
Sebagai orang yang pernah hidup dan besar di ranah Minang (Bukit tinggi dan Padang, +/- 10 tahun), rasanya kabar bencana gempa bumi yang terjadi kemarin membuat saya sedih sekaligus terhenyak dan tertegun. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dan menghiasi pikiran saya dua hari ini. Indahnya pemandangan, eloknya jejeran bebukitan yang membentuk Bukit Barisan, keramahan dan senyum penduduk lokal dan tentunya tidak terlupakan nikmatnya masakan rumah asli Minangkabau. Semuanya telah menjadi satu bagian terpenting dalam hidup ini dan membentuk kepribadian saya dalam banyak hal. Saya bahkan menganggap Minangkabau adalah rumah kedua setelah kampung halaman, Palembang.
Walau gempa bumi kemarin bukanlah yang pertama kali terjadi di Padang dan sekitarnya, saya tetap khawatir akan keselamatan teman-teman dan sanak kerabat di sana. Wahai sobat-sobatku, alumni SDN 14 Bukittinggi, alumni SMP 5 Bukittinggi angkatan 1992-1995, alumni SMU 2 Bukittinggi angkatan 1995, alumni SMU 4 Padang angkatan 1995-1998, apa kabarmu hari ini? Tetangga-tetanggaku di Kompleks Inkorba, Bukittinggi, dan Aur Duri Indah, Padang, bagaimana situasi di sana? Semoga semuanya selamat, berada dalam keadaan sehat wal’afiat, dan tidak ada yang menjadi korban akibat gempa bumi kemarin. Amin.
Bantuan kita dalam bentuk apa saja sangatlah diharapkan oleh masyarakat yang tertimpa bencana. Oleh karenanya marilah kita sisihkan sebagian dari harta kita untuk meringankan beban mereka. Jika anda dapat menyalurkannya langsung tentu lebih afdol, tapi jika tidak bisa, maka salurkanlah melalui badan-badan resmi yang telah ditunjuk. Kepada para penyalur bantuan, bersikaplah jujur dan amanah. Insya Allah semua amal baik anda akan dibalas oleh Yang Maha Kuasa dengan balasan yang berlipat ganda.
October 1, 2009 farisah sabrina awanis
Sebagai orang yang pernah hidup dan besar di ranah Minang (Bukit tinggi dan Padang, +/- 10 tahun), rasanya kabar bencana gempa bumi yang terjadi kemarin membuat saya sedih sekaligus terhenyak dan tertegun. Tiba-tiba kenangan masa kecil melintas dan menghiasi pikiran saya dua hari ini. Indahnya pemandangan, eloknya jejeran bebukitan yang membentuk Bukit Barisan, keramahan dan senyum penduduk lokal dan tentunya tidak terlupakan nikmatnya masakan rumah asli Minangkabau. Semuanya telah menjadi satu bagian terpenting dalam hidup ini dan membentuk kepribadian saya dalam banyak hal. Saya bahkan menganggap Minangkabau adalah rumah kedua setelah kampung halaman, Palembang.
Walau gempa bumi kemarin bukanlah yang pertama kali terjadi di Padang dan sekitarnya, saya tetap khawatir akan keselamatan teman-teman dan sanak kerabat di sana. Wahai sobat-sobatku, alumni SDN 14 Bukittinggi, alumni SMP 5 Bukittinggi angkatan 1992-1995, alumni SMU 2 Bukittinggi angkatan 1995, alumni SMU 4 Padang angkatan 1995-1998, apa kabarmu hari ini? Tetangga-tetanggaku di Kompleks Inkorba, Bukittinggi, dan Aur Duri Indah, Padang, bagaimana situasi di sana? Semoga semuanya selamat, berada dalam keadaan sehat wal’afiat, dan tidak ada yang menjadi korban akibat gempa bumi kemarin. Amin.
Bantuan kita dalam bentuk apa saja sangatlah diharapkan oleh masyarakat yang tertimpa bencana. Oleh karenanya marilah kita sisihkan sebagian dari harta kita untuk meringankan beban mereka. Jika anda dapat menyalurkannya langsung tentu lebih afdol, tapi jika tidak bisa, maka salurkanlah melalui badan-badan resmi yang telah ditunjuk. Kepada para penyalur bantuan, bersikaplah jujur dan amanah. Insya Allah semua amal baik anda akan dibalas oleh Yang Maha Kuasa dengan balasan yang berlipat ganda.
Jumat, 04 Desember 2009
MASALAH-MASALAH SOSIAL
DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK 1
Oleh : Yoseph Yapi Taum2
1. Pengantar
Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang
dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara
sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan
ada yang kecil (lihat Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda,
Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara
yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur,
obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau
agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu
Cu juga mulai kembali berpengaruh di Indonesia.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni.
Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.
Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan
tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad
ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan
terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa
telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel
Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya
perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk
perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini
dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok
dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa
kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan
bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan
multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari
ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di
Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok,
Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk
kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.
1 Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan
dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006.
2 Yoseph Yapi Taum, Dosen F. Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mewakili tokoh masyarakat
adat/etnis.
2
Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya
dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan
keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan?
Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah
pada perbenturan peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang
mudah memunculkan konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas
masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretensi
untuk membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan
sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa
demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di
Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari
kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar
Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak
kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan
membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya
daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk
menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang
otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras)
merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau
didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka
Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan
penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu.
Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai Era
Reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan
perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution).
Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde
baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit
sebagai sebuah kekuatan basis.
Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta
menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah
pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat
daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh
yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan
demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah
tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain
adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku.
Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul.
Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi
perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap
pembangunan manusia?
3
3. Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
3.1 Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh
para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan,
sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan
bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh
karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat
umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.
Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya,
identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi
tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat
perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda
antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan
sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan
keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan
atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah,
dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:
3) yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat
destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial
yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar
merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari
kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek
bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45).
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali
dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit
dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu
melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaianpenyesuaian
dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang
dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak
segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang
mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi
emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga
menjadi sumber malapetaka.
Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat
menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa
kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh
jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertaspun. Mereka
melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung
halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang
sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong
untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan
bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri.
Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik
merupakan suatu hal yang pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan
4
sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam
berbagai bentuk aktivitas hidup manusia.
Indonesia telah memulai program desentralisasi yang cukup radikal yang telah
menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit, khususnya tentang hubungan
keuangan antara pusat dan daerah, dan juga kemungkinan melebarnya jurang
ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih kaya maju sangat pesat, meninggalkan
kabupaten-kabupaten lainnya.
3.2 Ketidakadilan Sosial
Di negara yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi
bahaya dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam
akan muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika
pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan
pemunculan kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya
berbagai konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya
kepercayaan kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan
masa depan reformasi ekonomi Indonesia.
Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi lapisan subur bagi tumbuhnya
konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan dari luar sengaja memanaskan suhu.
Namun, ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi
seringkan digunakan sebagai legitimasi pembenar.
Mereka kini menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang
politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau
pekerjaan. Ketika masyarakat menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya,
mereka tidak sekedar menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi
mereka juga menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka
belum terpenuhi.
4. Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di
dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan.
Tekanan berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena
ekspresi dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
4.1 Membangun Hubungan Kekuatan
Dalam masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik
dapat berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu
kelompok etnis sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan
menimbulkan ledakan sosial.
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial,
yaitu suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan
kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan
mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya
pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat
dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia.
5
Proses sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila
memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling
berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara
totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen
organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antaretnik,
dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah
(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.
Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan
hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa:
perdagangan, kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).
Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban
(Cohen, 1970: 65)
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan
meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban
itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan
diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti
‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa
dalam distribusi mobil dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
4.2 Membangun Budaya Toleransi
Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal
dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi
menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam
paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan
yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung
dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat
negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan
bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa.
6
Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis
ideologi Pancasila juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan
bermacam-macam pola pun dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun
negatif. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas
menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan
tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat
budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of
national unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar
karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan
bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar
toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati
setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira
ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar
empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi,
yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan.
Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif.
Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru
saja menerbitkan sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut
Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat
sisi positif, optimistik, integratif dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup,
sesungguhnya telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini.
"Semakin sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat
primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin sering
kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan demikian,
kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian pernyataan Jero
Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2).
Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar
kelompok komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah
membudaya. Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat
semacam ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks.
Untuk itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai
sebuah contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara
ini.
4.3 Pendidikan
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan
adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat
dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan
reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan
(keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI).
Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan
(Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilainilai
masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau
ajang klaim-klaim yang saling bertentangan.
7
Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa
mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia.
Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan
antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan
bentuk hubungan tertentu.
Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina
siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan
sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik
dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat
dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi
pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran
multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang
mulia.
Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah.
Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya
dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa).
Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung
mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas.
5. Penutup
Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan,
wilayah-wilayah yang secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama
Indonesia pun diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon
dari Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa
sebenarnya konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara
moral?
Indonesia masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang
isu-isu berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa.
Rumusan yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah
Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan gelombang
globalisasi.
Daftar Acuan
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and
The Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor).
Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order.
New York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.”
Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan
DALAM MASYARAKAT MULTIETNIK 1
Oleh : Yoseph Yapi Taum2
1. Pengantar
Menurut estimasi Juli 2003, Penduduk Indonesia berjumlah 234.893.453 orang
dan tersebar di 17.000 pulau (Taum, 2006). Indonesia merupakan salah satu di antara
sedikit negara di dunia yang memiliki karakteristik sebagai negara multietnik. Di
Indonesia diperkirakan terdapat 931 etnik dengan 731 bahasa. Ada etnis yang besar dan
ada yang kecil (lihat Lampiran 1). Etnis besar di Indonesia antara lain: Jawa, Sunda,
Madura, Melayu, Bali, Minangkabau, Batak, Dayak, Bugis, dan Cina. Sebagai negara
yang multietnis, tidak hanya bentuk fisik melainkan juga sistem religi, hukum, arsitektur,
obat-obatan, makanan, dan kesenian orang Indonesia pun berbeda-beda menurut etnisnya.
Indonesia juga merupakan sebuah negara yang mempunyai tradisi religi atau
agama yang cukup kuat. Ada lima agama besar di Indonesia, yakni Islam, Katolik,
Protestan, Hindu, dan Buddha. Dalam beberapa tahun ini, setelah tahun 1998, Kong Hu
Cu juga mulai kembali berpengaruh di Indonesia.
Indonesia ibarat sebuah taman yang ditumbuhi aneka bunga berwarna-warni.
Akan tetapi, jika keragaman itu tidak dikelola dengan baik, konflik akan mudah pecah.
Futurolog terkemuka seperti John Naisbitt dan Alfin Toffler juga memprediksikan
tentang menguatnya kesadaran etnik (ethnic consciousnes) di banyak negara pada abad
ke-21. Berbagai peristiwa pada dua dasawarsa terkahir abad ke-20 memang perlawanan
terhadap dominasi negara ataupun kelompok-kelompok etnik lain. Berjuta-juta nyawa
telah melayang dan banyak orang menderita akibat pertarungan-pertarungan itu. Samuel
Huntington (1997) merupakan futurolog yang pertama kali mensinyalir bakal munculnya
perbenturan antar masyarakat "di masa depan" yang akan banyak terjadi dalam bentuk
perbenturan peradaban “clash of civilisation.” Sentimen ideologis yang selama ini
dominan dalam perang dingin, berubah dengan sentimen agama dan budaya. Blok-blok
dunia juga akan banyak ditentukan oleh kepemihakan terhadap agama dan kebudayaan.
Kutipan pernyataan para futurolog ini hanya untuk mengingatkan bahwa
kebudayaan tidak jarang membangun blok-blok yang dapat menimbulkan ketegangan dan
bahkan peperangan. Masyarakat terutama yang mempunyai karakter multi-etnis dan
multi-agama perlu senantiasa menggali wawasan kebangsaannya untuk menghindari
ketegangan-ketegangan baru. Konflik horisontal antar kelompok masyarakat tertentu di
Indonesia (Ambon, Kupang, Sambas, Palangkaraya, Sampit, Papua, Poso, Lombok,
Tasikmalaya, Jakarta, Solo, Surabaya, dll) seharusnya menggugah bangsa ini untuk
kembali merenungi pertanyaan-pertanyaan mendasar.
1 Makalah dibawakan dalam Focus Group Discussion (FGD) “Identifikasi Isu-isu Strategis yang Berkaitan
dengan Pembangunan Karakter dan Pekerti Bangsa”, dilaksanakan oleh Balai Kajian Sejarah dan Nilai
Tradisional Yogyakarta, tanggal 10 Oktober 2006.
2 Yoseph Yapi Taum, Dosen F. Sastra Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, mewakili tokoh masyarakat
adat/etnis.
2
Pertanyaannya adalah apakah pola hidup dalam keberagaman sudah membudaya
dalam alam kesadaran orang Indonesia? Sedalam apakah pemahaman kita akan
keragaman orientasi, referensi, dan tindakan-tindakan dalam pengambilan kebijakan?
Apakah kesadaran etnik yang bermunculan di berbagai wilayah tanah air akan mengarah
pada perbenturan peradaban bangsa kita? Masalah-masalah sosial apa sajakah yang
mudah memunculkan konflik dalam masyaraat multietnik? Adakah metode yang dapat
digunakan untuk mengatasi konflik berbasis etnik? Makalah ini bermaksud membahas
masalah-masalah tersebut, sekalipun hanya bersifat permukaan saja. Tidak ada pretensi
untuk membahas dan memberi jawaban dan solusi yang tuntas. Makalah ini dimaksudkan
sekedar untuk memancing diskusi dan pembahasan lebih lanjut.
2. Keragaman pada Masa Orde Lama, Orde Baru, dan Era Reformasi
Indonesia telah mengalami beberapa bentuk pemerintahan dengan nuansa
demokrasi yang berbeda-beda. Pemerintahan Orde Lama melihat keragaman budaya di
Indonesia sebagai sebuah bentuk pluralisme. Konsep pluralisme adalah buah dari
kompromi Sutan Takdir Alisjahbana dengan Sanusi Pane yang ditengahi oleh Ki Hajar
Dewantara, sehingga muncullah rumusan seperti kebudayaan nasional adalah puncakpuncak
kebudayaan daerah, dan seterusnya itu. Kesadaran akan pluralisme kebudayaan
membuat pemerintah Orde Lama berkeinginan mengkonservasi pencapaian budayabudaya
daerah, sehingga mengabaikan unsur dinamika dalam kebudayaan.
Selama tiga dekade kekuasaan rezim Orde Baru, Indonesia dipaksa untuk
menukar kebebasan politik dengan kemajuan ekonomi. Selama pemerintahan yang
otoriter dan militeristik ini, pembicaraan seputar SARA (Suku, Agama, dan Ras)
merupakan hal tabu. Permasalahan di ranah tersebut hampir tidak pernah diangkat atau
didialogkan secara terbuka. Bangsa ini seolah-olah bersembunyi di balik slogan “Bhineka
Tunggal Ika” yang hanya sekedar mengukuhkan otoritas penguasa dalam melakukan
penyeragaman, uniformalitas dan menyepelekan perbedaan.
Kebijakan Orde Baru menyimpan potensi konflik sebagai sebuah bom waktu.
Begitu Orde Baru runtuh, konflik bernuansa SARA bermunculan dan mewarnai Era
Reformasi. Deretan peristiwa kerusuhan berbau SARA itu sesungguhnya merupakan
perwujudan dari menguatnya apa yang disebut revolusi identitas (identity revolution).
Batas-batas identitas (etnis, juga agama, ras, dan antar golongan) yang selama rezim orde
baru ditabukan sebagai SARA dan dipercaya subversif justru sudah mulai bangkit
sebagai sebuah kekuatan basis.
Kebijakan Era Reformasi memberikan otonomi daerah tidak serta-merta
menyelesaikan masalah keragaman ini. Satu hal yang unik di Indonesia, sebuah
pemerintahan di Daerah Tingkat II umumnya didominasi satu suku. Kondisi masyarakat
daerah seperti ini bisa menjadikan orang daerah menjadi lebih sukuis/etnosentris. Contoh
yang paling muda diamati adalah Pilkada langsung, yang cenderung diikuti dengan
demontrasi jalanan dan perusakan fasilitas umum. Perilaku ini membuat budaya daerah
tertentu kehilangan nilai-nilai, mereka berubah jadi buas dan brutal. Contoh yang lain
adalah konflik-konflik bermotif etnik, seperti: Aceh, Kalimantan, Poso, dan Maluku.
Inilah kondisi yang telah terjadi di Indonesia dan masih berpotensi untuk muncul.
Apakah Indonesia dapat menjamin bahwa desentralisasi benar-benar akan menjadi
perekat bagi persatuan nasional dan memperkuat komitmen nasional terhadap
pembangunan manusia?
3
3. Masalah-masalah Sosial Pemicu Konflik
3.1 Menguatnya Primordialisme dan Etnosentrisme
Ikatan primodial pada dasarnya berakar pada identitas dasar yang dimiliki oleh
para anggota suatu kelompok etnis, seperti tubuh, nama, bahasa, agama atau kepercayaan,
sejarah dan asal-usul (Issac, 1993: 48-58). Identitas dasar ini merupakan sumber acuan
bagi para anggota suatu kelompok etnik dalam melakukan intreaksi sosialnya. Oleh
karena itu, identitas dasar merupakan suatu acuan yang sangat mendasar dan bersifat
umum, serta menjadi kerangka dasar bagi perwujudan suatu kelompok etnik.
Identitas dasar diperoleh secara askriptif dan tidak mudah untuk mengingkarinya,
identitas dasar muncul dalam interaksi sosial antar kelompok etnik. Dalam interaksi
tersebut para pelaku dari berbagai kelompok etnik akan menyadari bahwa terdapat
perbedaan kelompok di antara mereka. Identitas dasar kemudian menjadi suatu pembeda
antara berbagai kelompok etnik yang sedang berinteraksi. Identitas dasar merupakan
sumber adanya ikatan primodial, suatu ikatan yang lahir dari hubungan-hubungan
keluarga atau hubungan darah (garis keturunan), hubungan ras, lingkungan kepercayaan
atau keagamaan, serta bahasa atau dialek tertentu. Suatu persamaan hubungan darah,
dialek, ras, kebiasaan dan sebagainya yang melahirkan ikatan emosional (Greetz, 1992:
3) yang kadang kadarnya berlebihan sehingga dapat menjadi sesuatu yang bersifat
destruksif. Ikatan-ikatan tersebut Geerz dapat dianggap sebagai “warisan” dari sifat sosial
yang telah ada… suatu “kelangsungan yang berkesinambungan” dan sebagian besar
merupakan ikatan keluarga, namun lebih dari itu merupakan warisan yang berasal dari
kelahiran di tengah-tengah masyarakat beragama tertentu, yang berbicara dalam dialek
bahasa tertentu, dan mengikuti praktik-praktik sosial tertentu (Isaacs, 1993:45).
Dalam kehidupan sehari-hari identitas dasar suatu kelompok etnik seringkali
dimanipulasi (Cohen, 1971). Identitas dasar dapat dinon-aktifkan, diaktifkan, dipersempit
dapat dimungkinkan karena identitas dasar itu bukanlah sesuatu yang masih seperti batu
melainkan cair, sehingga dapat mengalir dan berkembang dalam rangka penyesuaianpenyesuaian
dalam kehidupan. Namun tidak jarang aliran identitas dasar menerjang
dengan kuat bagaikan air bah yang membobol bendungan-bendungan, serta merusak
segala sesuatu yang dilaluinya. Pada keadaan-keadaan tertentu identitas dasar yang
mewujudkan keberadaaannya dalam bentuk ikatan-ikatan primodial melahirkan kohesi
emosional yang sangat kuat atau menjadi etnosentrisme yang berlebihan, sehingga
menjadi sumber malapetaka.
Di sisi lain kohesi emosional yang berasal dari ikatan primordial dapat
menimbulkan rasa aman, kehangatan atau kepercayaan di kalangan mereka sendiri. Rasa
kepercayaan di antara kalangan sendiri bagi kelompok etnik tertentu dapat dijadikan
dasar bagi kegiatan bisnis. Banyak kegiatan bisnis dilakukan tanpa didukung oleh
jaminan surat-surat perjanjian, kontrak hukum atau bahkan secarik kertaspun. Mereka
melakukannya berdasarkan rasa saling percaya, karena mereka berasal dari kampung
halaman yang sama, berbahasa atau berdialek yang sama, memiliki nama keluarga yang
sama, atau dari keturunan yang sama, singkatnya kesamaan identitas dasar mendorong
untuk saling mempercayaai, minimal pada pertemuan pertama mereka beranggapan
bahwa mereka memiliki perilaku yang sama, karena berasal dari kalangan sendiri.
Kesadaran etnik yang bersumber pada identitas dasar suatu kelompok etnik
merupakan suatu hal yang pasti dialami setiap orang. Identitas dasar ini merupakan
4
sumber terbentuknya ikatan primordial. Ikatan primordial dapat diekspresikan dalam
berbagai bentuk aktivitas hidup manusia.
Indonesia telah memulai program desentralisasi yang cukup radikal yang telah
menimbulkan banyak permasalahan yang cukup rumit, khususnya tentang hubungan
keuangan antara pusat dan daerah, dan juga kemungkinan melebarnya jurang
ketimpangan jika kabupaten-kabupaten yang lebih kaya maju sangat pesat, meninggalkan
kabupaten-kabupaten lainnya.
3.2 Ketidakadilan Sosial
Di negara yang sangat besar dan terdiri dari beragam etnis, selalu ada potensi
bahaya dimana konflik ketenagakerjaan, pertanahan, atau konflik atas sumber daya alam
akan muncul ke permukaan sebagai konflik antar etnis dan konflik antar agama. Ketika
pemerintahan Orde Baru runtuh, terbuka format politik baru yang memungkinkan
pemunculan kembali berbagai pertikaian yang terjadi di masa lampau. Munculnya
berbagai konflik ini akan menimbulkan dampak yang sangat buruk, yaitu menurunnya
kepercayaan kepada lembaga-lembaga politik yang akan membahayakan keberlanjutan
masa depan reformasi ekonomi Indonesia.
Ketidakadilan sosial, budaya, dan ekonomi menjadi lapisan subur bagi tumbuhnya
konflik. Terbuka kemungkinan berbagai kepentingan dari luar sengaja memanaskan suhu.
Namun, ketidakadilan mendorong meletusnya konflik. Agama atau etnik menjadi
seringkan digunakan sebagai legitimasi pembenar.
Mereka kini menjadi lebih sadar akan hak-hak mereka, bukan saja hak di bidang
politik tetapi juga hak di bidang ekonomi, misalnya atas pangan, kesehatan, atau
pekerjaan. Ketika masyarakat menekankan identitas kedaerahan dan identitas etnisnya,
mereka tidak sekedar menuntut otonomi atau kebebasan politik yang lebih besar, tetapi
mereka juga menyuarakan bahwa sebagian dari hak sosial dan ekonomi dasar mereka
belum terpenuhi.
4. Solusi: Beberapa Isu Strategis Kebangsaan
Keberagaman di Indonesia harus diakui sebagai kebenaran obyektif yang nyata di
dalam masyarakat. Perbedaan tidak perlu dieksploitasi guna memenangkan kepentingan.
Tekanan berpotensi mengakumulasi ketidakpuasan dari kelompok tertekan karena
ekspresi dan identitas baik agama atau etnik tidak bisa dimunculkan.
4.1 Membangun Hubungan Kekuatan
Dalam masyarakat yang multietnik, pola dan model pergaulan yang etnosentrik
dapat berakibat kontraproduktif. Usaha bisnis yang maju pesat dan dikuasai oleh satu
kelompok etnis sama seperti menyimpan bom waktu yang pada saat tertentu akan
menimbulkan ledakan sosial.
Sosialisasi kesadaran multietnik dapat dilaksanakan melalui konsep proses sosial,
yaitu suatu cara berhubungan antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan
kelompok yang menimbulkan bentuk hubungan tertentu. Dari hubungan ini diharapkan
mereka semakin saling mengenal, semakin akrab, lebih mudah bergaul, lebih percaya
pada pihak lain, dan akhirnya dapat bekerjasama dan bersinergi. Kesemuanya ini dapat
dipahami sebagai bagian dari peradaban manusia.
5
Proses sosialisasi dimulai dari interaksi sosial dengan perilaku imitasi, sugesti,
identifikasi, dan simpati (Pidarta, 1997:147). Interaksi sosial akan terjadi apabila
memenuhi dua syarat: kontak sosial dan komunikasi. Setiap masyarakat saling
berinteraksi satu dengan lainnya, dan saling beradaptasi pada lingkungan secara
totalitas. Lingkungan ini mencakup lembaga sosiopolitik masyarakat dan elemen
organik lainnya. Dari hasil interaksi sosial diharapkan tidak ada strata sosial antaretnik,
dan seharusnya ada pembentukan peradaban atau akultrasi antaretnik.
Peradaban adalah jaringan kebudayaan. Biasanya setiap budaya memiliki wilayah
(Cohen,1970:64). Peradaban itu dapat dibuat melalui saling ketergantungan antaretnik.
Saling ketergantungan ini dapat berupa program (kegiatan), dengan adanya kegiatan
hubungan kekuatan (power relationships) semakin erat. Kegiatan tersebut dapat berupa:
perdagangan, kesenian dan pendidikan. (Lihat Gambar 1).
Gambar 1 Paradigma hubungan dalam jaringan peradaban
(Cohen, 1970: 65)
Hubungan kekuatan (HK) dalam bentuk saling ketergantungan akan
meningkatkan adaptasi antaretnik, dan dapat menimbulkan peradaban baru. Peradaban
itu adalah kebudayaan yang sudah lebih maju (Pidarta, 1997: 158). Bila kebudayaan
diartikan cara hidup yang dikembangkan oleh anggota-anggota masyarakat, ini berarti
‘kerjasama’ adalah suatu kebudayaan. Misalnya, kerjasama antar etnik Cina dan Jawa
dalam distribusi mobil dapat menciptakan hubungan kekuatan yang kokoh.
4.2 Membangun Budaya Toleransi
Istilah budaya toleransi (culture of tolerance) tampaknya belum banyak dikenal
dalam wacana sosial-politik Indonesia, karena selama masa otoriter Orde Baru, toleransi
menjadi salah satu nilai yang dimobilisasikan dan diintroduksikan secara represif dalam
paket ideologi uniformitas Pancasila. Dalam alam militeristik tersebut, setiap gerakan
yang berbau keagamaan, kedaerahan, ataupun kesukuan yang eksklusif cenderung
dianggap sebagai pembangkangan SARA, dan biasanya ditindak dengan tegas oleh aparat
negara. Karena itu, toleransi lebih banyak dipahami sebagai ideologi kaum penguasa dan
bukan bagian dari proses kebudayaan masyarakat bangsa.
6
Sejalan dengan berakhirnya masa despotisme Orde Baru, masa-masa romantis
ideologi Pancasila juga berakhir. Penataran-penataran P4 di berbagai level dengan
bermacam-macam pola pun dihentikan dengan berbagai dampak, baik positif maupun
negatif. Dalam alam reformasi ini, issu-issu mengenai toleransi, identitas, dan pluralitas
menjadi persoalan masyarakat dan bukan lagi tanggungjawab 'ideologis' negara. Akan
tetapi, perubahan tersebut berlangsung dengan sangat cepat, sehingga banyak pengamat
budaya Indonesia mengkhawatirkan bakal hilangnya rantai pemersatu bangsa (chain of
national unity). Barangkali belum terlalu disadari bahwa harga sosial yang harus dibayar
karena hilangnya rantai pemersatu itu sangat mahal.
Beberapa pakar kebudayaan (seperti Galtung, Soedjatmoko) mengungkapkan
bahwa nilai toleransi bukanlah sebuah nilai yang hadir pada dirinya sendiri. Kadar
toleransi bersumber dari adanya nilai empati yang secara inherent sudah ada dalam hati
setiap manusia. Empati merupakan kemampuan hati nurani manusia untuk ikut
merasakan apa yang dirasakan oleh orang lain; kemampuan untuk ikut bergembira
ataupun berduka dengan kegembiraan dan kedukaan orang lain. Semakin tinggi kadar
empati seseorang, semakin tinggi pula kemampuan orang itu membangun nilai toleransi,
yaitu kemampuan untuk menerima dan menghargai adanya perbedaan.
Nilai toleransi merupakan salah satu nilai dalam khazanah budaya berpikir positif.
Ir. Jero Wacik, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata RI Kabinet Indonesia Bersatu baru
saja menerbitkan sebuah buku saku berjudul Budaya Berpikir Positif (2005). Menurut
Wacik, budaya berpikir positif, ---yakni cara berpikir manusia yang senantiasa melihat
sisi positif, optimistik, integratif dan realistik terhadap berbagai permasalahan hidup,
sesungguhnya telah hidup dalam kebudayaan setiap etnik di bumi Nusantara ini.
"Semakin sering kita berpikir positif, semakin banyak kita memiliki sahabat. Sekat-sekat
primordialisme di antara kita akan menjadi semakin menipis. Sebaliknya, semakin sering
kita berpikir negatif, semakin banyak pula kita memiliki musuh. Dengan demikian,
kehidupan bangsa kitapun akan menjadi semakin kerdil," demikian pernyataan Jero
Wacik dalam sebuah pertemuan di Jakarta (18/2).
Sebelum diideologikan, nilai toleransi, kasih dan persahabatan yang tulus antar
kelompok komunitas orang yang berbeda latar belakang SARA sebetulnya sudah
membudaya. Membicarakan kebudayaan suku-suku bangsa dalam suatu tulisan singkat
semacam ini tentulah tidak mungkin, sebab kebudayaan itu sangat luas dan kompleks.
Untuk itu tulisan ini hanya mengemukakan sebuah kasus Flores berikut ini sebagai
sebuah contoh kasus dari ribuan fenomena serupa yang pernah terjadi di bumi Nusantara
ini.
4.3 Pendidikan
Pendidikan adalah proses membuat orang berbudaya dan beradab. Pendidikan
adalah kunci bagi pemecahan masalah-masalah sosial dan melalui pendidikan masyarakat
dapat direkonstruksi. Rekonstruksi berarti reformasi budaya, dengan melalui pendidikan
reformasi dapat dijalankan, terutama reformasi budi pekerti, reformasi kebudayaan
(keindonesiaan), dan reformasi nasionalisme (NKRI).
Tolstoy berpendapat sasaran puncak pendidikan ada di luar pendidikan
(Achambault, dalam Freire, 2001:491), yaitu kebudayaan. Tolstoy beranggapan nilainilai
masyarakat “beradab” akan tetap bertahan meski dihujani aneka ragam konflik atau
ajang klaim-klaim yang saling bertentangan.
7
Pendidikan yang dinginkan masyarakat ialah proses pendidikan yang bisa
mempertahankan dan meningkatkan keselarasan hidup dalam pergaulan manusia.
Konsep sosialisasi pendidikan yang dapat diterapkan adalah cara berhubungan
antarindividu atau antarkelompok atau individu dengan kelompok yang menimbulkan
bentuk hubungan tertentu.
Sekolah dapat dijadikan sarana pembauran multietnik. Guru harus membina
siswa agar bisa memiliki kebiasaan hidup yang harmonis, bersahabat, dan akrab dengan
sesama teman dari berbagai latar belakang etnik. Proses pembelajaran di kelas multietnik
dapat menghasilkan peradaban baru sesuai dengan harapan reformasi. Untuk ini, dapat
dipakai teori, model, strategi pengajaran multietnik sebagai sarana menjalankan reformasi
pendidikan dan kebudayaan (lihat Wakhinudin, 2006). Implementasi strategi pengajaran
multietnik di kelas hendaklah bertujuan pembentukan peradaban bangsa Indonesia yang
mulia.
Sampai saat ini, pengajaran multietnik belum dilegalisasikan oleh pemerintah.
Pengajaran bahasa daerah dilaksanakan dalam format restorasi (menjaga bahasa/budaya
dari kepunahan) dan bukan dalam format pluralisme (mengakui perbedaan bahasa).
Dengan format tersebut, pengajaran bahasa daerah lebih terkesan otoriter dan cenderung
mengabaikan fakta keragaman etnik di dalam kelas.
5. Penutup
Indonesia sesungguhnya merupakan sebuah himpunan kerajaan-kerajaan,
wilayah-wilayah yang secara kebetulan berada di bawah kolonialisme Belanda. Nama
Indonesia pun diberikan oleh orang asing, etnolog Inggris, G.R. Logan, pada 1850, konon
dari Bahasa Yunani (Indo = India, Nesos = Kepulauan; jadi Kepulauan India). Apa
sebenarnya konsepsi keindonesiaan itu? Apa sesungguhnya yang mengikat kita secara
moral?
Indonesia masih perlu terus-menerus melakukan kajian, diskusi, dialog tentang
isu-isu berkaitan dengan pembangunan karakter dan pekerti kita sebagai bangsa.
Rumusan yang lebih jelas dan tegas dapat dijadikan panduan untuk membangun sebuah
Indonesia yang kuat, beradab, dan bermartabat, sebelum dilanda terpaan gelombang
globalisasi.
Daftar Acuan
Cohen, A.Y., 1970. Schools and Civilizational States, dalam The Social Sciences and
The Comparative Study of Education systems. (Joseph Fischer; editor).
Pennsylvania: International Textbook Company.
Geertz, Clifford, 1992. Politik Kebudayaan (terjemahan). Yogyakarta : Penerbit
Kanisius.
Huntington, Samuel, 1997. The Clash of Civilisation and the Remaking of World Order.
New York: Simon and Schuster.
Issacs, Harold R., 1993. Pemujaan Terhadap Kelompok Etnik (terjemahan). Jakarta :
Yayasan Obor Indonesia.
Pidarta, M., 1997. Landasan Pendidikan: Stimulus Ilmu Pendidikan Bercorak
Indonesia. Jakarta : Rineka Cipta.
Taum, Yoseph Yapi, 2006. “Wawasan Kebangsaan dari Perspektif Budaya Flores.”
Makalah Dialog Budaya Daerah "Merumuskan Kembali Wawasan Kebangsaan
Rabu, 02 Desember 2009
ARTIKEL PENGERTIAN KEBUDAYAAN INDONESIA
pengertian budaya,dan asal usul kebudayaan, serta macam-macam kebudayaan
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I)
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
2.2. Budaya yang Hilang
Lagu Rasa Sayang-sayange diklaim oleh Pemerintah Malaysia.
Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu “Rasa Sayange” adalah milik Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2].
Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. ‘Rasa Sayange1′ diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. [3] Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia [4]. Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, maksudnya warisan milik bersama bangsa Melayu, antara Indonesia dan Malaysia[5].
Tentang bukti rekaman “Rasa Sayange”, bukti lagu tersebut direkam oleh PT Lokananta, Solo, Indonesia pada tanggal 1962 dalam piringan hitam Gramophone [6]. Rekaman master dari piringan ini masih disimpan oleh PT Lokananta. Ini dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4 tahun 1962 di Jakarta, dan lagu “Rasa Sayange” adalah salah satu lagu rakyat Indonesia di piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak Bergembira, O Ina ni Keke, dan Sengko Dainang.
Desain Grafis Perak Asli Bali
Rasa terambilnya desain garafis perak asli Bali ini muncul ketika seorang warga bali yang menjaul hasil karyanya ke konsumen luar negeri. Namun tanpa diketahui konsumentersebut malah mematenkan hasil karya tersebut sebagai desain dari luar negeri, sehingga ketika warga Bali ini hendak mengekspor hasil karyanya ternyata dia harus beurusan dengan WTO karena dianggap telah melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Sesungguhnya desain tersebut telah dimiliki dan merupakan warisan dari leluhur masyarakat Bali itu sendiri. Namun ada juga kejadian perebutan hak paten yang terjadi di dalam negeri ini sendiri yang dimana kedua belah pihak telah mematenkan hak ciptanya. Namun salah satu pihak menganggap bahwa karya lainnya merupakan plagiat dari hasil karya yang telah mereka buat.
Tari Reog Ponorogo dengan Tari Barongan Malaysia
Dikisahkan di dalam Asal Usul Reog Ponorogo telah terjadi pertempuran antara Raja Ponorogo dengan Singa Barong penjaga hutan Lodoyo. Pujangga Anom nama raja itu telah membangunkan dan membuat marah singa tersebut, karena mencuri 150 anak macan dari hutan Lodoyo. Anak-anak macan itu rencananya akan dia gunakan sebagai mas kawin pernikahannya dengan seorang puteri dari Raja Kadiri. Pertempuran antara Pujangga Anom dan singa penjaga hutan Lodoyo kemudian tak terelakkan. Kisah itu lalu menjadi legenda pada rakyat Ponorogo dan sekitarnya tentang keberanian dan ketabahan orang-orang Ponorogo dan diwujudkan dalam bentuk tarian Reog.
Dalam tarian Reog para penari bukan saja menampilkan gerakan-gerakan badan yang mempesona namun juga menyertakan suasana magis. Para penari dipercaya berada dalam keadaaan kesurupan meskipun yang sesungguhnya terjadi mereka mendahului tarian Reog dengan ritual puasa dan semedi. Adegan ketika seorang penari memanggul topeng besar berupa kepala singa yang di atasnya dihiasai dengan bulu merak adalah salah satu contoh kuatnya aroma magis tersebut.
Barongan Malaysia tidak seperti itu dan itulah yang membedakan tarian itu dengan Reog dari Ponorogo. Mungkin tema tariannya agak mirip meskipun harus dikatakan antara keduanya terdapat perberbedaan yang jauh. Namun andai pun dianggap mirip, hal itu hanya terletak pada temanya yang mengusung tema singa atau macan. Tema semacam itu juga bisa dijumpai dalam tarian Sisingaan dari Kuningan Jawa Barat dan Barongsai tarian khas Cina. Dan jika dilihat dari filosofinya, Barongan Malaysia cenderung bernuansa keagaamaan (penyebaran Islam) sementara filosofi Reog adalah keberanian dan ketabahan.
Tempe yang diklaim oleh WN Jepang
Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Makanan Daerah yang tergantikan oleh makanan dari Luar Negeri
Sekarang ini banyak sekali makanan daerah yang tergantikan terutama didaerah pariwisata. Sebenarnya tidak ada kerugian yang akan dialami oleh negara, namun jika dilaihat dari segi lain maka akan merugikan karena para penerus bangsa mendatang mungkin tidak akan tahu apa makanan daerah yang mereka miliki. Penyebab utamanya yaitu danya investor asing yang ingin memajukan perekonomian daerah pariwisata dengan membangun restoran cepat saji ataupun sejenis kedai junkfood. Masyarakat sekarang ini khususnya anak – anak muda, berpikir makanan daerah sudah ketinggalan jaman sehingga mereka berusaha untuk mengikuti tren yang ada. Semua itu tak lain juga akibat dari globalisasi apalagi sarana dan prasarana telah memadai bahkan terpenuhi.
Berikut ini adalah beberapa daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan atau diklaim oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:
i. Batik dari Jawa oleh Adidas
ii. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
iii. Naskah Kuno dari Sumetera Barat oleh Pemerintah Malaysia
iv. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
v. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
vi. Rendang dari Sumetera Barat oleh Oknum WN Malaysia
vii. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
viii. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
ix. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
x. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
xi. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
xii. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
xiii. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
xiv. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
xv. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
xvi. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
xvii. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
xviii. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
xix. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
xx. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
xxi. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
xxii. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
xxiii. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
xxiv. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
xxv. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
(sumber : google, Ditulis oleh seabass86 di/pada Mei 7, 2009)
Budaya atau kebudayaan berasal dari bahasa Sansekerta yaitu buddhayah, yang merupakan bentuk jamak dari buddhi (budi atau akal) diartikan sebagai hal-hal yang berkaitan dengan budi dan akal manusia. Dalam bahasa Inggris, kebudayaan disebut culture, yang berasal dari kata Latin Colere, yaitu mengolah atau mengerjakan. Bisa diartikan juga sebagai mengolah tanah atau bertani. Kata culture juga kadang diterjemahkan sebagai “kultur” dalam bahasa Indonesia.
“Kebudayaan didefinisikan sebagai keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterprestasikan lingkungan dan pengalamanya, serta menjadi landasan bagi tingkah-lakunya. Dengan demikian, kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, rencana-rencana, dan strategi-strategi yang terdiri atas serangkaian model-model kognitif yang dipunyai oleh manusia, dan digunakannya secara selektif dalam menghadapi lingkungannya sebagaimana terwujud dalam tingkah-laku dan tindakan-tindakannya.” (Hlm. 2-18 alinea I)
Kebudayaan dapat didefinisikan sebagai suatu keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial yang digunakannya untuk memahami dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya, serta menjadi pedoman bagi tingkah lakunya. Suatu kebudayaan merupakan milik bersama anggota suatu masyarakat atau suatu golongan sosial, yang penyebarannya kepada anggota-anggotanya dan pewarisannya kepada generasi berikutnya dilakukan melalui proses belajar dan dengan menggunakan simbol-simbol yang terwujud dalam bentuk yang terucapkan maupun yang tidak (termasuk juga berbagai peralatan yang dibuat oleh manusia). Dengan demikian, setiap anggota masyarakat mempunyai suatu pengetahuan mengenai kebudayaannya tersebut yang dapat tidak sama dengan anggota-anggota lainnya, disebabkan oleh pengalaman dan proses belajar yang berbeda dan karena lingkungan-lingkungan yang mereka hadapi tidak selamanya sama.
2.2. Budaya yang Hilang
Lagu Rasa Sayang-sayange diklaim oleh Pemerintah Malaysia.
Rasa Sayange atau Rasa Sayang-Sayange adalah lagu daerah yang berasal dari Maluku, Indonesia. Lagu ini merupakan lagu daerah yang selalu dinyanyikan secara turun-temurun sejak dahulu untuk mengungkapkan rasa sayang mereka terhadap lingkungan dan sosialisasi di antara masyarakat Maluku.
Lagu ini digunakan oleh departemen Pariwisata Malaysia untuk mempromosikan kepariwisataan Malaysia, yang dirilis sekitar bulan Oktober 2007. Sementara Menteri Pariwisata Malaysia Adnan Tengku Mansor mengatakan bahwa lagu Rasa Sayange merupakan lagu kepulauan Nusantara (Malay archipelago)[1], Gubernur Maluku Karel Albert Ralahalu bersikeras lagu “Rasa Sayange” adalah milik Indonesia karena ia merupakan lagu rakyat yang telah membudaya di provinsi Maluku sejak leluhur, sehingga klaim Malaysia itu adalah salah.[2].
Bagaimanapun, bukti tersebut akhirnya ditemukan. ‘Rasa Sayange1′ diketahui direkam pertama kali di perusahaan rekaman Lokananta Solo 1962. [3] Pada tanggal 11 November 2007, Menteri Kebudayaan, Kesenian, dan Warisan Budaya Malaysia, Rais Yatim, mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik Indonesia [4]. Namun, ada beberapa sumber yang mengatakan bahwa Malaysia menyebutkan bahwa mereka mengakui bahwa Rasa Sayange adalah milik bersama, maksudnya warisan milik bersama bangsa Melayu, antara Indonesia dan Malaysia[5].
Tentang bukti rekaman “Rasa Sayange”, bukti lagu tersebut direkam oleh PT Lokananta, Solo, Indonesia pada tanggal 1962 dalam piringan hitam Gramophone [6]. Rekaman master dari piringan ini masih disimpan oleh PT Lokananta. Ini dikenal sebagai rekaman pertama terhadap lagu ini. Piringan hitam tersebut didistribusikan sebagai souvenir kepada partisipan Asian Games ke 4 tahun 1962 di Jakarta, dan lagu “Rasa Sayange” adalah salah satu lagu rakyat Indonesia di piringan tersebut, bersama dengan lagu etnis lain Indonesia seperti Sorak-sorak Bergembira, O Ina ni Keke, dan Sengko Dainang.
Desain Grafis Perak Asli Bali
Rasa terambilnya desain garafis perak asli Bali ini muncul ketika seorang warga bali yang menjaul hasil karyanya ke konsumen luar negeri. Namun tanpa diketahui konsumentersebut malah mematenkan hasil karya tersebut sebagai desain dari luar negeri, sehingga ketika warga Bali ini hendak mengekspor hasil karyanya ternyata dia harus beurusan dengan WTO karena dianggap telah melanggar Trade Related Intellectual Property Rights (TRIPs). Sesungguhnya desain tersebut telah dimiliki dan merupakan warisan dari leluhur masyarakat Bali itu sendiri. Namun ada juga kejadian perebutan hak paten yang terjadi di dalam negeri ini sendiri yang dimana kedua belah pihak telah mematenkan hak ciptanya. Namun salah satu pihak menganggap bahwa karya lainnya merupakan plagiat dari hasil karya yang telah mereka buat.
Tari Reog Ponorogo dengan Tari Barongan Malaysia
Dikisahkan di dalam Asal Usul Reog Ponorogo telah terjadi pertempuran antara Raja Ponorogo dengan Singa Barong penjaga hutan Lodoyo. Pujangga Anom nama raja itu telah membangunkan dan membuat marah singa tersebut, karena mencuri 150 anak macan dari hutan Lodoyo. Anak-anak macan itu rencananya akan dia gunakan sebagai mas kawin pernikahannya dengan seorang puteri dari Raja Kadiri. Pertempuran antara Pujangga Anom dan singa penjaga hutan Lodoyo kemudian tak terelakkan. Kisah itu lalu menjadi legenda pada rakyat Ponorogo dan sekitarnya tentang keberanian dan ketabahan orang-orang Ponorogo dan diwujudkan dalam bentuk tarian Reog.
Dalam tarian Reog para penari bukan saja menampilkan gerakan-gerakan badan yang mempesona namun juga menyertakan suasana magis. Para penari dipercaya berada dalam keadaaan kesurupan meskipun yang sesungguhnya terjadi mereka mendahului tarian Reog dengan ritual puasa dan semedi. Adegan ketika seorang penari memanggul topeng besar berupa kepala singa yang di atasnya dihiasai dengan bulu merak adalah salah satu contoh kuatnya aroma magis tersebut.
Barongan Malaysia tidak seperti itu dan itulah yang membedakan tarian itu dengan Reog dari Ponorogo. Mungkin tema tariannya agak mirip meskipun harus dikatakan antara keduanya terdapat perberbedaan yang jauh. Namun andai pun dianggap mirip, hal itu hanya terletak pada temanya yang mengusung tema singa atau macan. Tema semacam itu juga bisa dijumpai dalam tarian Sisingaan dari Kuningan Jawa Barat dan Barongsai tarian khas Cina. Dan jika dilihat dari filosofinya, Barongan Malaysia cenderung bernuansa keagaamaan (penyebaran Islam) sementara filosofi Reog adalah keberanian dan ketabahan.
Tempe yang diklaim oleh WN Jepang
Tercatat ada 19 paten tentang tempe, di mana 13 buah paten adalah milik AS, yaitu: 8 paten dimiliki oleh Z-L Limited Partnership; 2 paten oleh Gyorgy mengenai minyak tempe; 2 paten oleh Pfaff mengenai alat inkubator dan cara membuat bahan makanan; dan 1 paten oleh Yueh mengenai pembuatan makanan ringan dengan campuran tempe. Sedangkan 6 buah milik Jepang adalah 4 paten mengenai pembuatan tempe; 1 paten mengenai antioksidan; dan 1 paten mengenai kosmetik menggunakan bahan tempe yang diisolasi. Paten lain untuk Jepang, disebut Tempeh, temuan Nishi dan Inoue (Riken Vitamin Co. Ltd) diberikan pada 10 Juli 1986. Tempe tersebut terbuat dari limbah susu kedelai dicampur tepung kedele, tepung terigu, tepung beras, tepung jagung, dekstrin, Na-kaseinat dan putih telur.
Makanan Daerah yang tergantikan oleh makanan dari Luar Negeri
Sekarang ini banyak sekali makanan daerah yang tergantikan terutama didaerah pariwisata. Sebenarnya tidak ada kerugian yang akan dialami oleh negara, namun jika dilaihat dari segi lain maka akan merugikan karena para penerus bangsa mendatang mungkin tidak akan tahu apa makanan daerah yang mereka miliki. Penyebab utamanya yaitu danya investor asing yang ingin memajukan perekonomian daerah pariwisata dengan membangun restoran cepat saji ataupun sejenis kedai junkfood. Masyarakat sekarang ini khususnya anak – anak muda, berpikir makanan daerah sudah ketinggalan jaman sehingga mereka berusaha untuk mengikuti tren yang ada. Semua itu tak lain juga akibat dari globalisasi apalagi sarana dan prasarana telah memadai bahkan terpenuhi.
Berikut ini adalah beberapa daftar artefak budaya Indonesia yang diduga dicuri, dipatenkan atau diklaim oleh korporasi asing, oknum warga negara asing, ataupun negara lain:
i. Batik dari Jawa oleh Adidas
ii. Naskah Kuno dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
iii. Naskah Kuno dari Sumetera Barat oleh Pemerintah Malaysia
iv. Naskah Kuno dari Sulawesi Selatan oleh Pemerintah Malaysia
v. Naskah Kuno dari Sulawesi Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
vi. Rendang dari Sumetera Barat oleh Oknum WN Malaysia
vii. Sambal Bajak dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Belanda
viii. Sambal Petai dari Riau oleh Oknum WN Belanda
ix. Sambal Nanas dari Riau oleh Oknum WN Belanda
x. Lagu Soleram dari Riau oleh Pemerintah Malaysia
xi. Lagu Injit-injit Semut dari Jambi oleh Pemerintah Malaysia
xii. Alat Musik Gamelan dari Jawa oleh Pemerintah Malaysia
xiii. Tari Kuda Lumping dari Jawa Timur oleh Pemerintah Malaysia
xiv. Tari Piring dari Sumatera Barat oleh Pemerintah Malaysia
xv. Lagu Kakak Tua dari Maluku oleh Pemerintah Malaysia
xvi. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
xvii. Lagu Anak Kambing Saya dari Nusa Tenggara oleh Pemerintah Malaysia
xviii. Kursi Taman Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Perancis
xix. Pigura Dengan Ornamen Ukir Khas Jepara dari Jawa Tengah oleh Oknum WN Inggris
xx. Motif Batik Parang dari Yogyakarta oleh Pemerintah Malaysia
xxi. Produk Berbahan Rempah-rempah dan Tanaman Obat Asli Indonesia oleh Shiseido Co Ltd
xxii. Badik Tumbuk Lada oleh Pemerintah Malaysia
xxiii. Kopi Gayo dari Aceh oleh perusahaan multinasional (MNC) Belanda
xxiv. Kopi Toraja dari Sulawesi Selatan oleh perusahaan Jepang
xxv. Musik Indang Sungai Garinggiang dari Sumatera Barat oleh Malaysia
(sumber : google, Ditulis oleh seabass86 di/pada Mei 7, 2009)
ARTIKEL ILMU BUDAYA DASAR
PENDAHULUAN
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
*Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
*Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
*Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
*Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
*Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
*Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
*Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
*Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
*Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
*Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
*Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
*Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas.
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya.
Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain.
Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang memerintah.
Kegiatan politik juga memasuki dunia keagamaan, kegiatan ekonomi dan sosial, kehidupan pribadi dan sosial secara luas. Dengan demikian, budaya politik langsung mempengaruhi kehidupan politik dan menentukan keputusan nasional yang menyangkut pola pengalokasian sumber-sumber masyarakat.
PENGERTIAN BUDAYA POLITIK
Pengertian Umum Budaya Politik
Budaya politik merupakan sistem nilai dan keyakinan yang dimiliki bersama oleh masyarakat. Namun, setiap unsur masyarakat berbeda pula budaya politiknya, seperti antara masyarakat umum dengan para elitenya. Seperti juga di Indonesia, menurut Benedict R. O'G Anderson, kebudayaan Indonesia cenderung membagi secara tajam antara kelompok elite dengan kelompok massa.
Almond dan Verba mendefinisikan budaya politik sebagai suatu sikap orientasi yang khas warga negara terhadap sistem politik dan aneka ragam bagiannya, dan sikap terhadap peranan warga negara yang ada di dalam sistem itu. Dengan kata lain, bagaimana distribusi pola-pola orientasi khusus menuju tujuan politik diantara masyarakat bangsa itu. Lebih jauh mereka menyatakan, bahwa warga negara senantiasa mengidentifikasikan diri mereka dengan simbol-simbol dan lembaga kenegaraan berdasarkan orientasi yang mereka miliki. Dengan orientasi itu pula mereka menilai serta mempertanyakan tempat dan peranan mereka di dalam sistem politik.
Berikut ini adalah beberapa pengertian budaya politik yang dapat dijadikan sebagai pedoman untuk lebih memahami secara teoritis sebagai berikut :
*Budaya politik adalah aspek politik dari nilai-nilai yang terdiri atas pengetahuan, adat istiadat, tahayul, dan mitos. Kesemuanya dikenal dan diakui oleh sebagian besar masyarakat. Budaya politik tersebut memberikan rasional untuk menolak atau menerima nilai-nilai dan norma lain.
*Budaya politik dapat dilihat dari aspek doktrin dan aspek generiknya. Yang pertama menekankan pada isi atau materi, seperti sosialisme, demokrasi, atau nasionalisme. Yang kedua (aspek generik) menganalisis bentuk, peranan, dan ciri-ciri budaya politik, seperti militan, utopis, terbuka, atau tertutup.
*Hakikat dan ciri budaya politik yang menyangkut masalah nilai-nilai adalah prinsip dasar yang melandasi suatu pandangan hidup yang berhubungan dengan masalah tujuan.
*Bentuk budaya politik menyangkut sikap dan norma, yaitu sikap terbuka dan tertutup, tingkat militansi seseorang terhadap orang lain dalam pergaulan masyarakat. Pola kepemimpinan (konformitas atau mendorong inisiatif kebebasan), sikap terhadap mobilitas (mempertahankan status quo atau mendorong mobilitas), prioritas kebijakan (menekankan ekonomi atau politik).
Dengan pengertian budaya politik di atas, nampaknya membawa kita pada suatu pemahaman konsep yang memadukan dua tingkat orientasi politik, yaitu sistem dan individu. Dengan orientasi yang bersifat individual ini, tidaklah berarti bahwa dalam memandang sistem politiknya kita menganggap masyarakat akan cenderung bergerak ke arah individualisme. Jauh dari anggapan yang demikian, pandangan ini melihat aspek individu dalam orientasi politik hanya sebagai pengakuan akan adanya fenomena dalam masyarakat secara keseluruhan tidak dapat melepaskan diri dari orientasi individual.
Pengertian Budaya Politik Menurut Para Ahli
Terdapat banyak sarjana ilmu politik yang telah mengkaji tema budaya politik, sehingga terdapat variasi konsep tentang budaya politik yang kita ketahui. Namun bila diamati dan dikaji lebih jauh, tentang derajat perbedaan konsep tersebut tidaklah begitu besar, sehingga tetap dalam satu pemahaman dan rambu-rambu yang sama. Berikut ini merupakan pengertian dari beberapa ahli ilmu politik tentang budaya politik.
*Rusadi Sumintapura
Budaya politik tidak lain adalah pola tingkah laku individu dan orientasinya terhadap kehidupan politik yang dihayati oleh para anggota suatu sistem politik.
*Sidney Verba
Budaya politik adalah suatu sistem kepercayaan empirik, simbol-simbol ekspresif dan nilai-nilai yang menegaskan suatu situasi dimana tindakan politik dilakukan.
*Alan R. Ball
Budaya politik adalah suatu susunan yang terdiri dari sikap, kepercayaan, emosi dan nilai-nilai masyarakat yang berhubungan dengan sistem politik dan isu-isu politik.
*Austin Ranney
Budaya politik adalah seperangkat pandangan-pandangan tentang politik dan pemerintahan yang dipegang secara bersama-sama; sebuah pola orientasi-orientasi terhadap objek-objek politik.
*Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr.
Budaya politik berisikan sikap, keyakinan, nilai dan keterampilan yang berlaku bagi seluruh populasi, juga kecenderungan dan pola-pola khusus yang terdapat pada bagian-bagian tertentu dari populasi.
Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas (dalam arti umum atau menurut para ahli), maka dapat ditarik beberapa batasan konseptual tentang budaya politik sebagai berikut :
Pertama : bahwa konsep budaya politik lebih mengedepankan aspek-aspek non-perilaku aktual berupa tindakan, tetapi lebih menekankan pada berbagai perilaku non-aktual seperti orientasi, sikap, nilai-nilai dan kepercayaan-kepercayaan. Hal inilah yang menyebabkan Gabriel A. Almond memandang bahwa budaya politik adalah dimensi psikologis dari sebuah sistem politik yang juga memiliki peranan penting berjalannya sebuah sistem politik.
Kedua : hal-hal yang diorientasikan dalam budaya politik adalah sistem politik, artinya setiap berbicara budaya politik maka tidak akan lepas dari pembicaraan sistem politik. Hal-hal yang diorientasikan dalam sistem politik, yaitu setiap komponen-komponen yang terdiri dari komponen-komponen struktur dan fungsi dalam sistem politik. Seseorang akan memiliki orientasi yang berbeda terhadap sistem politik, dengan melihat fokus yang diorientasikan, apakah dalam tataran struktur politik, fungsi-fungsi dari struktur politik, dan gabungan dari keduanya. Misal orientasi politik terhadap lembaga politik terhadap lembaga legislatif, eksekutif dan sebagainya.
Ketiga : budaya politik merupakan deskripsi konseptual yang menggambarkan komponen-komponen budaya politik dalam tataran masif (dalam jumlah besar), atau mendeskripsikan masyarakat di suatu negara atau wilayah, bukan per-individu. Hal ini berkaitan dengan pemahaman, bahwa budaya politik merupakan refleksi perilaku warga negara secara massal yang memiliki peran besar bagi terciptanya sistem politik yang ideal.
Komponen-Komponen Budaya Politik
Seperti dikatakan oleh Gabriel A. Almond dan G. Bingham Powell, Jr., bahwa budaya politik merupakan dimensi psikologis dalam suatu sistem politik. Maksud dari pernyataan ini menurut Ranney, adalah karena budaya politik menjadi satu lingkungan psikologis, bagi terselenggaranya konflik-konflik politik (dinamika politik) dan terjadinya proses pembuatan kebijakan politik. Sebagai suatu lingkungan psikologis, maka komponen-komponen berisikan unsur-unsur psikis dalam diri masyarakat yang terkategori menjadi beberapa unsur.
Menurut Ranney, terdapat dua komponen utama dari budaya politik, yaitu orientasi kognitif (cognitive orientations) dan orientasi afektif (affective oreintatations). Sementara itu, Almond dan Verba dengan lebih komprehensif mengacu pada apa yang dirumuskan Parsons dan Shils tentang klasifikasi tipe-tipe orientasi, bahwa budaya politik mengandung tiga komponen obyek politik sebagai berikut.
Orientasi kognitif : yaitu berupa pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya.
Orientasi afektif : yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan pe-nampilannya.
Orientasi evaluatif : yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
TIPE-TIPE BUDAYA POLITIK
Berdasarkan Sikap Yang Ditunjukkan
Pada negara yang memiliki sistem ekonomi dan teknologi yang kompleks, menuntut kerja sama yang luas untuk memperpadukan modal dan keterampilan. Jiwa kerja sama dapat diukur dari sikap orang terhadap orang lain. Pada kondisi ini budaya politik memiliki kecenderungan sikap ”militan” atau sifat ”tolerasi”.
Budaya Politik Militan
Budaya politik dimana perbedaan tidak dipandang sebagai usaha mencari alternatif yang terbaik, tetapi dipandang sebagai usaha jahat dan menantang. Bila terjadi kriris, maka yang dicari adalah kambing hitamnya, bukan disebabkan oleh peraturan yang salah, dan masalah yang mempribadi selalu sensitif dan membakar emosi.
Budaya Politik Toleransi
Budaya politik dimana pemikiran berpusat pada masalah atau ide yang harus dinilai, berusaha mencari konsensus yang wajar yang mana selalu membuka pintu untuk bekerja sama. Sikap netral atau kritis terhadap ide orang, tetapi bukan curiga terhadap orang.
Jika pernyataan umum dari pimpinan masyarakat bernada sangat militan, maka hal itu dapat menciptakan ketegangan dan menumbuhkan konflik. Kesemuanya itu menutup jalan bagi pertumbuhan kerja sama. Pernyataan dengan jiwa tolerasi hampir selalu mengundang kerja sama. Berdasarkan sikap terhadap tradisi dan perubahan. Budaya Politik terbagi atas :
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Absolut
Budaya politik yang mempunyai sikap mental yang absolut memiliki nilai-nilai dan kepercayaan yang. dianggap selalu sempurna dan tak dapat diubah lagi. Usaha yang diperlukan adalah intensifikasi dari kepercayaan, bukan kebaikan. Pola pikir demikian hanya memberikan perhatian pada apa yang selaras dengan mentalnya dan menolak atau menyerang hal-hal yang baru atau yang berlainan (bertentangan). Budaya politik yang bernada absolut bisa tumbuh dari tradisi, jarang bersifat kritis terhadap tradisi, malah hanya berusaha memelihara kemurnian tradisi. Maka, tradisi selalu dipertahankan dengan segala kebaikan dan keburukan. Kesetiaan yang absolut terhadap tradisi tidak memungkinkan pertumbuhan unsur baru.
Budaya Politik Yang memiliki Sikap Mental Akomodatif
Struktur mental yang bersifat akomodatif biasanya terbuka dan sedia menerima apa saja yang dianggap berharga. Ia dapat melepaskan ikatan tradisi, kritis terhadap diri sendiri, dan bersedia menilai kembali tradisi berdasarkan perkembangan masa kini.
Tipe absolut dari budaya politik sering menganggap perubahan sebagai suatu yang membahayakan. Tiap perkembangan baru dianggap sebagai suatu tantangan yang berbahaya yang harus dikendalikan. Perubahan dianggap sebagai penyimpangan. Tipe akomodatif dari budaya politik melihat perubahan hanya sebagai salah satu masalah untuk dipikirkan. Perubahan mendorong usaha perbaikan dan pemecahan yang lebih sempurna.
Berdasarkan Orientasi Politiknya
Realitas yang ditemukan dalam budaya politik, ternyata memiliki beberapa variasi. Berdasarkan orientasi politik yang dicirikan dan karakter-karakter dalam budaya politik, maka setiap sistem politik akan memiliki budaya politik yang berbeda. Perbedaan ini terwujud dalam tipe-tipe yang ada dalam budaya politik yang setiap tipe memiliki karakteristik yang berbeda-beda.
Dari realitas budaya politik yang berkembang di dalam masyarakat, Gabriel Almond mengklasifikasikan budaya politik sebagai berikut :
*Budaya politik parokial (parochial political culture), yaitu tingkat partisipasi politiknya sangat rendah, yang disebabkan faktor kognitif (misalnya tingkat pendidikan relatif rendah).
*Budaya politik kaula (subyek political culture), yaitu masyarakat bersangkutan sudah relatif maju (baik sosial maupun ekonominya) tetapi masih bersifat pasif.
*Budaya politik partisipan (participant political culture), yaitu budaya politik yang ditandai dengan kesadaran politik sangat tinggi.
Dalam kehidupan masyarakat, tidak menutup kemungkinan bahwa terbentuknya budaya politik merupakan gabungan dari ketiga klasifikasi tersebut di atas.
Langganan:
Postingan (Atom)